Selasa, 12 Januari 2016

kajian manava dharma sastra



kajian manava dharma sastra
 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Manava Dharmasastra merupakan kodifikasi atau samhita mengenai segala aturan yang menjadi dasar atau pegangan mengadakan hubungan social sesuai dasar dalam merumuskan kaidah hokum atau Dharma tetap bersumber pada wahyu ( sruti ). Inti pokok Dharma tak lepas dari sumber utamanya sehingga dalam konsepsional Dharma sastra adalah bentuk kaedah yang timbul karena keburtuhan asai manusia yang tak bertentangan dengan asas-asas umum universal.
Manava Dharmasastra dikarang oleh Maha Rsi Brghu, yang terdiri dari 12 adhyaya ( BAB atau Buku ) yang memuat 18 aspek hukum atau wyawahara yang dapat dikategorikan dalam bentuk hukum perdata agama, pidana serta peraturan-peraturan yang bersifat mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan secara umum.
Asal-usul Manusmrti yang dikenal dengan nama Manava Dharmasastra walaupun sudah dapat dianggap pasti namun masih tetap merupakan bahan perdebatan diantara berbagai tokoh indoloog. Demikian pula dengan umurnya tidak dapat dipastikan dengan tepat timbulnya berbagai tulisan Dharma Sutra menunjukan besarnya perhatian para Maha Rsi dalam usaha mereka mempertumbuhkan masyarakat yang dibinanya. Banyak nama-nama yang kita jumpai yang ada hubungannya dengan penulisan kitab dharma sutra itu seperti Gautama, Baudhayana, sankhalikhita, vinsu, avastamba, Harita, Vikhana, paithinasi, usana, kasyapa, brhaspati dan manu. Diantara nama-nama itu yang terkenal adalah manu, walaupun penulisannya sendiri dilakukan oleh Bhrgu. Penampilan nama bhrgu sebagai nama Rsi yang mengajarkan kepada masyarakat dimaksudkan untuk membuktikan bagaimana beliau berusaha mempopularitaskan ajaran Manu itu sebagai karya agung dari Bhatara Manu.
Dalam Kitab Manava Dharmasastra terdiri dari 2685 sloka, dan kitab Manava Dharmasastra ini ditulis kembali dalam sebuah buku dan terjemahan dalam bentuk bahasa Indonesia oleh G.Pudja,M.A. dan Tjokorda Rai Sudharta,M.A yang terdiri dari xxxii + 704 halaman : 16 x 24 cm, tahun 2004.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penciptaan Menurut Manava Dharmasastra
      Asal mula alam semesta ini diselimuti kegelapan, kemudian dengan kekuatan tapanya ( kriya sakti beliau ) bagian dari Cadu Sakti, menciptakan alam semesta ini secara bertahap dari unsur alam semesta ( Maha Bhuta ) yang melenyapkan kegelapan.
Manava Dharmasastra 1.8-11 : ia ( Tuhan ) yang ingin menciptakan dirinya sendiri semua makhluk-makhluk hidup yang beraneka ragam, mula-mula dengan pikirannya terciptalah benih dan benih itupun menjadi telor alam yang maha suci dan maha terang, dalam telor itulah ia menciptakan dirinya sebagai Brahman, pencipta dan cikal bakal dari alam semesta. Dari cikal bakal yang pertama ini, yang tak berbedakan, kekal yang nyata dan tak nyata, muncullah purusa.
Manava dharmasastra 1.12, istilah telor alam sekedar merupakan bahasa yang melukiskan sifat-sifat yang mengandung ide kesucian. Saat penciptaan semesta, Brahman menciptakan dua kekuatan yang disebut purusa yaitu kekuatan hidup dan prakerti atau kekuatan kebendaan. Kemudian timbul Citta yaitu alam pikiran yang dipengaruhi oleh Tri Guna yaitu satwam ( sifat kebenaran/ Dharma ), Rajah ( sifat kenafsuan/ dinamis ) dan tamah ( adharma/ kebodohan atau apatis ). Kemudian timbul budhi ( naluri pengenal ) setelah itu timbul manah ( akal dan perasaan ), selanjutnya timbul ahangkara ( rasa keakuan ).
Setelah ini timbul Dasa Indriya yang terbagi dalam kelompok lima indra perasa atau panca budhi indriya dan lima indra penggerak panca karma indriya. Setelah itu timbullah lima jenis benih benda alam ( Panca Tan Matra ) : suara, rasa sentuhan, pengelihatan, rasa, penciuman. Dari panca Tan Mantra Muncullha lima unsur materi yaitu Panca Maha Bhuta.
Panca Maha Bhuta merupakan lima unsur pembentuk dalam penciptaan baik bhuana agung atau alam semesta maupun bhuana alit atau mahkluk hidup. Adapun bagian dari panca maha bhuta inu ialah, pertiwi ( zat padat ) dalam bhuana agung atau alam semesta contohnya : tanah, batu dan lain lain-lain yang padat sedangkan dalam bhuana alit contohnya : tulang, gigi, kuku, daging, dan lain-lain, yang kedua ialah apah ( zat cair ) dalam Bhuana agung contohnya : air sedangkan dalam bhuana alit contohnya : darah, air kencing, keringat, air mata dan lain-lain, yang ketiga ialah bayu ( udara ) dalam bhuana agung contohnya : angin, sedangkan dalam bhuana alit contohnya : nafas, yang keempat ialah teja ( unsur panas ) dalam bhuana agung contohnya : panasnya api, matahari dan lain-lain, sedangkan dalam bhuana alit contohnya : suhu badan, dan yang terakhir ialah akasa ( ether ) dalam bhuana agung contohnya : ruang angkasa, sedangkan dalam bhuana alit contohnya ; rongga perut, rongga mulut, rongga telinga, rongga hidung dan rongga-rongga lainya.
 Unsur-unsur tersebut dicampur dengan cita, budhi, ahamkara, dasa indriya, panca tan matra dan panca maha bhuta. Dari pencampuran tersebut, timbullah benih makhluk hidup yaitu swanita dan sukla. Pertemuan kedua benih tersebut menyebabkan terjadinya makhluk hidup.
2.2 Yadnya menurut Manava Dharma Sastra
            Yadnya merupakan korban suci tulus ikhlas, dalam Manava Dharma sastra juga terdapat ajaran mengenai Panca yadnya, yaitu terdapat pada Buku III, sloka 73 “ mereka menamakan kelima korban suci ini juga dengan sebutan Ahuta, Huta, Prahuta, Brahma huta, prasita” juga dalam sloka 74 ditegaskan kembali “ Ahuta adalah pengucapan doa dari veda Huta persembahan yangan homa, prahuta adalah upacara yang diharurkan diatas tanah kepada para Bhuta, Brahmahuta menerima tetap brahmana secara hormat seolah olah mengaturkan kepada api yang ada pada tubuh brahmana dan prasita adalah persembahan terfana kepada para pitara”
            Dari sloka tersebut diatas menjelaskan tentang kelima yadnya yang perlu kita lakukan yaitu, Ahuta berarti yadnya kepada para dewa atau Dewa yadnya, yang dimaksud dengan dewa yadnya ini ialah, persembahan suci yang tulus iklhas untuk para dewata atau tuhan, adapun contoh dewa yadnya ini ialah pemujaan yang dilakukan di pura.
Huta berarti yadnya kepada manusia atau Manusa yadnya, adalah bentuk persembahan suci terhadap sesame manusia, contohnya upacara tiga bulanan, perkawinan, upacara potong gigi dan lain sebagainya, bisa pula ditunjukan dengan jalan menolong sesame manusia.
Brahmahuta yaitu yadnya kepada para Rsi atau Guru atau yang disebut juga Rsi yadnya, merupakan bentuk persembahan suci terhadap para maha rsi atau guru contohnya upacara mediksa, upacar pawintenan atau bisa juga ditunjukan dengan jalan kita membantu para guru atau maha rsi.
prasita yaitu yadnya yang kita lakukan kepada leluhur atau Pitra Yadnya, adalah bentuk persembahan suci terhadap para leluhur atau pitara, contoh pelaksanaan pitra yadnya ini ialah upacara ngaben.
Dan yang terakhir adalah Prahuta yakni yadnya yang dilakukan kepada para Bhuta Kala yaitu Bhuta yadnya, adalah bentuk persembahan suci terhadap mahkluk bawahan, contohnya upacara mecaru dan bisa di lakukan dengan jalan kita memelihara hubungan baik dengan hewan maupun tumbuhan.

2.3 Peraturan Bagi Sanataka
            Adapun dalam bagian ini berisi penjelasan tentang apa saja peraturan-peraturan bagi seorang Sanataka, mulai dari bagaimana seorang Sanataka itu mencari sumber kehidupan, tugas-tugas dan larangan-larangan nya.
Dalam buku IV sloka 2 sampai sloka 12, menjelaskan tentang usaha seorang brahmana dalam mencari nafkah atau mencari sumber kehidupan, yaitu seorang harus mencari nafkahnya dengan berusaha tidak sama sekali atau sedikit mungkin menyusahkan orang lain. Hendaknya ia mengumpulkan keperluannya dengan menjalankan usaha yang tidak tercela sesuai dengan swadharmanya. Dalam sloka 4  ditekankan lagi bahwa seorang sanataka atau brahmana hendaknya hidup dengan rta, amrta, dan pramrta atau dengan cara satya nrta dan tidak dibolehkan dengan cwawrti. Adapun yang dimaksud dengan rta yaitu kebenaran menurut hukum alam artinya, seorang sanataka atau brahmana harus mencari sumber kehidupan dengan jalan dharma atau tidak menentang dengan hukum alam. Yang kedua amrta yaitu segala yang diberikan tanpa diminta, ini dimaksudkan seorang sanataka atau brahmana menerima apa saja yang diberikan kepada dirinya walaupun dia tidak memintanya. Ketiga pramrta yaitu hasil pertanian, maksudnya seorang sanataka atau brahmana boleh melakukan kegiatan pertanian demi menunjang kehidupannya. Dan yang terahir satya nrta yaitu kehidupan yang didasarkan menurut cara gabungan antara kebenaran (satya) dan kebohongan (nrtya) yang dalam sloka ini menjelaskan bahwa sanataka atau brahmana diperbolehkan dalam melakukan perdagangan yang berdasarkan dharma. Adapun cara memperoleh sumber kehidupan yang tidak diperbolehkan yaitu cwawrti atau cara hidup seperti anjing, dalam hal ini seorang brahmana tidak diperbolehkan melakukan perbudakan maupun menjilat.
Larangan-larangan seorang sanataka atau brahmana termuat dalam sloka 15 sampai 17 yaitu seorang brahmana tidak boleh mencari kekayaan dengan jalan haram atau tidak sesuai dengan dharma, terdapat pula larangan bagi seorang brahmana untuk memenuhi kesenangan-kesenangan diri pada hal pemuasan nafsu.
Tugas-tugas seorang sanataka atau brahmana termuat dalam 19,21,22 sampai 28. Yang berisi tentang tugas seorang brahmana diantaranya yaitu dia harus senantiasa mempelajari weda sampai dengan melakukan upacara yadnya.

2.4 Masa Cuntaka
            Cuntaka merupakan suatu keadaan dimana seseorang sedang mengalami masa kekotoran dalam jasmani maupun rohani. Dalam manava dharma sastra masa cuntaka ini termuat di buku V berikut sloka-sloka yang memuat cuntaka tersebut, yakni sloka 58 – 101. Seperti dalam sloka 58 menjelaskan jika seorang bayi telah tumbuh gigi dan meninggal maka seluruh keluarganya terkena cuntaka, sedangkan dalam sloka 62 menyebutkan keadaan cuntaka pada saat kelahiran bayi dan yang menjadi cuntaka itu hanyalah ibunya sendiri sedangkan sang ayah akan menjadi suci hanya dengan mandi saja. Dalam sloka 63 menyebutkan bahwa setelah melakukan hubungan sex seorang laki-laki juga akan menjadi bersih hanya dengan mandi. Dalam sloka 66 menyebutkan wanita yang mengalami keguguran maka ia akan mengalami cuntaka selama umur bayi yang terdapat pada kandungannya. Dalam sloka 71 menyebutkan ketika seorang kawan meninggal hanya mengalami cuntaka dalam satu hari. Dalam sloka 98 menyebutkan bahwa ia yang meninggal di medan perang harus seketika di upacarai dengan upacara serauta, demikian juga cuntaka yang disebabkan  oleh kematiannya akan berakhir pada saat upacara tersebut terselesaikan. Dalam sloka 101 menyebutkan seorang brahmana yang mengusung mayat  yang bukan merupakan bagian keluarganya dan seolah-olah ia bertindak sebagai anggota keluarganya ia akan mengalami cuntaka selama tiga hari, dan masih banyak lagi sloka-sloka yang mengatur tentang masa cuntaka ini.
            Cuntaka ini pada dasarnya tidak ada yang tidak membolehkan seorang yang cuntaka ini berhubungan dengan tuhan, namun hal yang dilarang sesungguhnya ialah orang cuntaka ini memasuki tempat suci karena bertujuan untuk menjaga kesakralan atau kesucian tempat suci, hal ini berhubungan dengan krama yang menjujung tempat suci tersebut.


2.5 Catur Asrama
            Catur asrama merupakan empat tingkatan hidup yang harus dilewati manusia dalam hidupnya, dari mulai ia belajar dalam hidup sampai mempersiapkan diri untuk meninggalkan hidup. Adapun tingkatan hidup itu   ialah :
2.5.1 Brahmacari
            Adalah tingkat kehidupan berguru/menuntut ilmu. Diawali dengan upacara upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dengan pemberian samawartana / ijazah. Dalam kegiatan belajar mengajar ini siswa harus mengikuti segala peraturan yang telah di tetapkan bahkan kebiasaan untuk mengasramakan siswa sangat penting guna memperoleh ketenangan belajar serta mempermudah pengawasan. Brahmacari juga mengandung makna yaitu orang yang tidak terikat nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala tenaga dan pikirannya benar-benar diarahkan kepada kemantapan belajar serta upaya pengembangan keterampilan sebagai bekal hidupnya kelak. Seperti yang disebutkan dalam buku II sloka 36 yaitu seseorang harus melakukan upacara upanayana. Dan juga termuat dalam sloka 41 mengenai etika seorang murid dalam berpakaian pada saat proses pembelajaran. Dalam sloka 117 juga disebutkan seorang siswa harus memberi hormat dengan sujud kepada guru dari mana dia menerima pengetahuan.
2.5.2 Grahasta
            Adalah tingkat kehidupan berumah tangga. Dalam memasuki masa grahasta di awali dengan suatu upacara yang disebut wiwaha (perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu penggunaan harta dan kama sangat penting dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan dharma. Seperti yang dijelaskan dalam buku III sloka 2 yaitu seorang murid yang sudah mempelajari weda ia akan memasuki tahapan sebagai kepala rumah tangga. Terdapat pula aturan-aturan dalam seseorang untuk memilih istrinya. Termuat dalam buku III sloka 6 dan 7 yang menyebutkan dalam memilih istri hendaknya ia menghindari baik-baik kesepuluh macam jenis keluarga dibawah ini, betapapun terkenal atau kayanya dengan ternak, kuda atau kekayaan lainnya. Sepuluh macam keluarga itu ialah, keluarga yang tidak menghiraukan upacara-upacara suci, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki, keluarga yang tidak mempelajari weda, keluarga yang anggota badannya berbulu tebal, keluarga yang mempunyai penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag, penyakit ayan dan lepra. Dalam sloka tersebut bertujuan supaya kelak keturunan yang dihasilkannya menjadi anak suputra.
2.5.3 Wanaprastha
            Adalah tingkat kehidupan ke tiga dengan menjauhkan diri dari nafsu-nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengalaman ajaran dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/ moksha dipraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.
            Adapun sloka-sloka yang mengatur tentang wanaprastha dalam manava dharma sastra ini termuat dalam buku VI sloka 1,2,3 dan masih banyak lagi. Dalam sloka-sloka tersebut menyebutkan orang yang sudah sesuai dengan peraturan hukum golongan yang sudah berkeluarga boleh dengan membulatkan tekad dan mengendalikan panca indriyanya secara ketat, tinggal dalam hutan dengan cermat mengikuti peraturan-peraturan dibawah ini diantaranya, kalau seorang kepala keluarga sudah melihat kulitnya keriput dan rambutnya sudah putih dan sudah pula melihat adanya cucu pada saat itulah ia boleh hidup dalam hutan. yang kedua dengan meninggalkan semua hak miliknya, meninggalkan semua makanan yang didapat dari hasil tanahnya ia boleh berangkat kehutan dengan menyerahkan istrinya kepada putra-putranya atau istrinya dibawa serta kehutan. Dengan membawa api suci dan peralatan untuk melakukan pemujaan sehari-hari ia boleh meninggalkan desa dan menuju hutan untuk tinggal disana. Dalam hal ini dimaksudkan ketika orang sudah matang dalam jasmani dan rohaninya dan sudah memenuhi semua kewajiban dan tanggung jawab terhadap keluarganya maka ia disaran kan untuk mengasingkan diri atau pada jaman dulu dilakukan dengan jalan pergi kehutan guna mempersiapkan diri untuk meninggalkan duniawi guna mencapai tahapan Bhiksuka pada tingkatan asrama berikutnya.
2.5.4 Bhiksuka
            Adalah tingkat kehidupan dimana pengauh duniawi sama sekali lepas yang diabdikan adalah nilai-nilai dari keutamaan dharma dan hakikat hidup yang benar. Pada masa ini banyak dilakukan kunjungan ketempat suci, dimana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk mencapai moksha. Adapun peraturan- peraturan yang memuat tentang bhiksuka dalam manava dharmasastra ini termuat dalam buku XII sloka 11 menyebutkan orang yang mampu mengendalikan tingkah laku, pikiran dan perkataan atas dirinya sendiri terhadap semua makhluk dan sepenuhnya telah menundukan keinginan dan kemarahan, karenanya ia pasti akan mencapai keberhasilan yang sempura. Disebutkan pula dalam sloka 83, mempelajari weda melakukan tapa, mencari pengetahuan yang benar, menundukan panca indra, tidak melukai makhluk, dam melayani guru adalah cara yang terbaik untuk mencapai rahmat yang tertinggi.

2.6 Tri Guna
            merupakan tiga sifat yang dimiliki oleh manusia yakni satwam, rajas, tamas. Satwam adalah prilaku yang tenang, bijaksana, jujur,baik,panadai dan bersih. Rajah adalah sikap berlebihan aktif, dinamis gelisah dan resah. Tamas sikap yang yang pasif, malas,acuh tak acuh dan tak bergairah. Pada dasarnya ketiga sifat ini ada pada manusia hanya saja bobotnya yang berbeda tergantung pada pribadi manusianya. Tri guna termuat dalam manawadarmasastra Buku XII sloka 31-33 disebutkan cirri-ciri sifat satwam adalah mempelajari weda betapa belajar segala buku pengetahuan mengendalikan atas semua indrianya melakukan perbuatan-perbuatan yang bajik. Pada sloka 32 disebutkan sifat-sifat rajah adalah  sangat bergairah melakukan perkejaan, kurang dalam ketekunan,melakukan perbuatan-perbuatan berdosa dan selalu terikan dalam kesenangan-kesenangan jasmani. Pada sloka 33 disebutkan sifat-sifat tamah yakni loba, kecil hati, pemalsu, kejam, ateis,pemalas, berusaha yang tidak baik, kebiasaan hidup dalam belas kasih atau pemberian orang lain.

2.7 Asta Brata
            Adalah delapan prilaku utama yang harus dimiliki atau di pegang ileh seorang pemimpin. Asta brata merupakan ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama kepada Wibhisana ketika akan menjadi Raja di Alengka. Asta brata ini termuat dalam kitab Manawa Dharmasastra Buku VII sloka 4 diamana dijelaskan bahwa seorang pemimpin untuk memenuhi maksud dan tujuannya itu  sayogyanya memiliki sifat-sifat baik delapan dewa. Anataranya adalah Dewa Indra, bayu, yama, surya, agni, waruna, candra dan kuwera.  Dalam hal ini dimaksudkan adalah seorang pemimpin itu harus memiliki sifat dewa indra yang artinya memiliki sifat yang mampu melindungi oreng-orang kecil, dan seorang pemimpin harus mampu mensejahterakan masyarakatnya. Dewa wahyu artinya seorang pemimpin harus memiliki sifat sejuk,suasana yang segar, sehingga terjalin suatu kerjasama yang baik di dalam kepemimpinannya. Dewa yama artinya seorang pemimpin harus memiliki sifat  yang adil dan seorang pemimpin harus selalu menjaga kebenaran,misalnya jika anak buahnya melakukan kesalan harus di hukum dengan adil tanpa melihat status sosialnya. Dewa surya artinya seorang pemimpin harus memiliki sifat yang tanpa pilih kasih, yang mampu memberikan perhatian kepada bawahnya tanpa memandang statusnya, selalu memberikan dorongan agar bawahnnya tetap semangat. Dewa agni artinya seorang pemimpin harus sanggup menghadapi dan memecahkan setiap kesulitan yang dihadapi oleh bawahnnya. Dewa waruna artinya seorang pemimpin harus mampu mengayomi orang-orang yang kecil khususnya orang yang berada dalam posisi yang lemah. Dewa candra artinya seorang pemimpin harus dapat menciptakan ketenangan. Dewa kuwera artinya seorang pemimpin harus mensejahterakan masyaraktnya.

2.8 Hukum Sipil dan Pidana
            Dalam Menawa Dharmasastra buku VIII sloka 4-7 terdapat 18 jenis perkara diantaranya, (1) Perkara tentang hutang piutang, (2) tentang perjanjian, (3) tentang penjualan barang-barang tak bertuan,(4) ikatan persekutuan, (5) pelaksanaan hibah, (6) tentang tidak membayar upah,(7) tidak mengindahkan perjanjian, (8) pembagian hasil dari jual dan beli, (9) perselisihan antara pemilik hewan dengan pengembalanya,(10) perselisihan mengenai perbatasan, (11) ancaman dengan kekerasan, (12) penghinaan, (13) pencurian, (14) perampokan, (15) persinahan, (16) kewajiban suami istri, (17) tentang pembagian warisan, (18) tentang perjudian dengan dadu dan bertaruh dalam adu binatang. Itulah delapan belas perkara yang menimbulkan perselisihan hukum di dunia ini.

2.9 Sumber Hukum Hindu Menurut Manava Dharmasastra
Adapun sumber hukum hindu dalam manava dharmasastra terdapat dalam Sloka 6 dinkatakan bahwa weda adalah sumber utama dari dharma,  lalu adat istiadat, tingkah laku terpuji para  budiman yang mendalami weda, juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi. Hukum apapun yang telah ditetapkan oleh manu untuk seseorang maupun golongan, hukum itu sudah ditentukan semuanya dalam ajaran weda karena weda adalah sumber dharma yang mutlak, dengan mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka suci dan adat istiadat yang luhur, orang akan mendapatkan kemasyuran di dunia ini dan mendapat kebahagiaan utama di dunia lainnya.

2.10 Kewajiban Suami Istri dalam Manawa Dharmasastra
            Dalam buku IX .101,102 Berdasarkan sloka tersebut menjelaskan perkawinan merupakan awal dari terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Warga rumah (suami dan isteri), wajib menjaga kesucian masing-masing, hidup rukun dan damai, tenteram, bahagia, mengupayakan terbinanya kepribadian dan ketenangan lahir dan batin dalam upaya menurunkan anak yang baik.
Adapun tujuan pokok dari perkawinan adalah: 1) Terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. 2) Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha). 3) Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).
2.10.1 Tugas Dan Kewajiban Seorang Suami
            Dalam Manawa Dharmasastra Bab IX.3, suami atau bapak adalah sebagai pelindung isterinya yang selengkapnya tersurat sebagai berikut: “Selagi ia (isteri) masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia tua putra-putrinyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak bebas dari perlindungan”. Secara lebih terperinci tugas suami dalam keluarga menurut Manawa Dharmasastra IX.2, 3, 9, dan 11 dapat disampaikan sebagai berikut:
1) Wajib melindungi isteri dan anak-anaknya  serta memperlakukan isteri dengan sopan dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungan dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
2) Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaan dan menugaskan isterinya untuk mengurus harta rumah tangga, urusan dapur, yadnya, serta ekonomi keluarga.
3) Suami wajib menggauli isterinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari unsur-unsur yang mengakibatkan perceraian.
4) Suami hendaknya selalu merasa puas dan berbahagia bersama isterinya karena dalam rumah tangga apabila suami-isteri merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya.
5) Suami wajib menjalankan tugas dan kewajiban sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara  dengan baik (dharma grahastha, kula dharma)
6) Suami atau ayah wajib mengawinkan putra-putrinya  pada waktunya.
7) Suami wajib melakukan sraddha, pemujaan terhadap leluhur (pitra puja), memelihara cucunya dan melaksanakan panca yadnya.
Peranan suami tercantum dalam Bab IX 1-103, seorang suami harus setia kepada istrinya, menghormati istrinya dan melindungi istrinya dengan penuh kecintaan dan kasih sayang. Kedudukan seorang suami meriurut masyarakat Hindu adalah sederajat dengan istrinya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suami berkewajiban melindungi istri dan anaknya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suami berkewajiban melindungi istri dan anaknya pada saat tiba waktunya, ia harus mengawinkan anaknya. Suami harus menyerahkan harta dan segala penghasilannya kepada istrinya dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada istrinya untuk mengatur harta rumah tangga, urusan dapur bahkan juga urusan agama di dalam rumah tangga atau khusus mengenai urusan dilakukan bersama-sama. Jika ia pergi jauh keluar daerah terlebih dahulu ia harus menjamin hidup istrinya dengan memberikan biaya sebelum biaya pergi. Selanjutnya ia harus selalu berusaha memelihara hubungan kesuciannya dengan istrinya dengan saling percaya mempercayai demi terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga. Demikian dijelaskan pula bahwa ia berkewajiban menggauli istrinya pada saat-saat tertentu yang ditetapkan oleh agama. Ia harus berusaha sebaik-baiknya agar antara mereka tidak melanggar kesuciannya dan menghindarkan perceraian.

2.10.2 Tugas Dan Kewajiban Istri
            Tentang kedudukan dan peranan istri untuk melaksanakan kewajibannya disebutkan dalam Manawa Dharmasastra Adhyaya IX, 1-103 antara lain disebutkan sebagai berikut. Bahwasanya sebagai seorang istri dan seorang wanita hendaknya selalu ia berusaha untuk tidak bertindak sendiri dengan meninggalkan ayahnya atau suaminya. Sebagai seorang istri (wanita) ia harus pandai membawa diri pandai mengatur rumah tangga dan ekonomis, ia harus setia kepada suaminya dan hendaknya selalu berusaha untuk tidak melanggar ketentuan menurut kitab suci. Ia harus mengendalikan pikirannya, perkataannya dan tingkah lakunya demi tercapainya kebahagiaan yaitu tercapai surga sebagai seorang istri berkewajiban memelihara rumah tangga sebaik baiknya. Andaikata suaminya harus pergi keluar daerah dan ia tidak mampu memberi biaya sebagai jaminan istrinya maka istri tersebut dibenarkan untuk bekerja supaya dapat menunjang hidupnya asal pekeijaan itu tidak bertentangan dengan norma kesopanan sebagai wanita.
Lebih lanjut seorang istri harus menyadari bahwa telah ditakdirkan setiap wanita akan menjadi ibu. Orang tua berkewajiban mendidik dan rnenyekolahkan pada usia tertentu, kewajiban ini mutlak harus dilakukan karena jika tidak dipenuhi anak tersebut diancarn kapatita yaitu dikeluarkan dan masyarakat arya dan dilarang mengucapkan mantra savitri. Di damping itu orang tua berkewajiban bertanggung jawab atas perkawinan anaknya; untuk itu orang tua dapat memilih calon menantunya. Jika lewat umurnya orang tua kehilangan anak atas urusan akanya. Lebih lanjiut orang tua berkewajiban mewariskan kepada anak-anaknya, sebaliknya orang tua berhak mewarisi dan putranya yang tidak berketurunan. Mengenai hak dan kewajiban anak terhadap orang tua di dalam kitab Manawa Dharmasastra dijelaskan pula anak laki-laki berkewajiban menyelenggarakan sradha. Dan anak-anak berhak mewarisi hak orang tuanya. Adapun tugas dan kewajiban seorang istri dalam pustaka suci Hindu adalah sebagai berikut:
1)      Melahirkan dan memelihara anak/putranya serta memberi kebahagiaan kepada suami dan anak-anaknya.
2)      Ramah kepada suami dan seluruh anggota keluarga suami.
3)      Bersama baik dalam suka maupun dalam duka dengan suami dan anak-anak.
4)      Memberi kebahagiaan dan keberuntungan kepada suami dan mertua.
5)      Menjadi pengayom bagi seluruh keluarga (Mananawa Dharmasastra Bab IX. 26).
2.10.3 tugas dan kewajiban seorang anak
            Adapun tugas dan kewajiban seorang anak dalam Manava dharmasastra :
1)      Seorang anak harus melindungi orang tuanya ketika mereka sudah tua dan melindungi ibunya setelah kematian bapaknya.seperti yang tercantum dalam sloka 364 buku IX.
2)      Seorang anak wajib melindungi dan mengangkat derajat saudaranya yang lain dan juga berhak membagi warisan sesuai dengan peraturan yang ada sesuai dengan sloka 106-166 buku IX.

2.11 Judi Dan Taruhan Dalam Manawa Dharmasastra
            Judi adalah perbuatan yang dilakukan dalam berbentuk permainan atau perlombaan yang dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang atau kesibukan dalam mengisi waktu senggang serta ada taruhan yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar baik dalam bentuk uang ataupun harta benda lainnya sehingga tentu saja ada pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan.  Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu. Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil, tanah dan rumah. Mahluk hidup misalnya binatang peliharaan, manusia, bahkan istri sendiri seperti yang dilakukan oleh Panca Pandawa dalam ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa. Di bawah ini sloka-sloka yang menyangkut tentang judi dan taruhan diatur dalam Manawa Dharmasastra bab IX sloka 221-228 yaitu:
1)      Dyūtaṁ samaḥ vayaṁ caiva rāja rātrannivarayet, rājanta karaóa vetau dvau dośau pṛthivikśitam. Manavadharmaśāstra IX.221.(Perjuadian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya, ke dua hal itu menyebabkan kehancuran negara dan generasi muda).
2)      Prakaśaṁ etat taskaryam yad devanasama hvayau, tayornityaṁ pratighate nṛpatir yatna van bhavet. Manavadharmaśāstra IX.222.(Perjudian dan pertaruhan menyebabkan pencurian, karena itu pemerintah harus menekan ke dua hal itu)
3)      Apraṇibhiryat kriyate tal loke dyūtam ucchyate, praṇibhiḥ kriyate yāstu
na vijñeyaḥ sāmahvayaḥ.
Manavadharmaśāstra IX.223. (Kalau barang-barang tak berjiwa yang dipakai pertaruhan sebagai uang,hal itu disebut perjudian, sedang bila yang dipakai adalah benda-bendaberjiwa untuk dipakai pertaruhan, hal itu disebut pertaruhan).
4)      Dyūtaṁ sāmahvayaṁ caiva yaḥ kūryat karayate va, tansarvan ghatayed rājaśudramś ca dvija linggi. Manavadharmaśāstra IX.224. (Hendaknya pemerintah menghukum badanniah semua yang berjudi dan bertaruh atau mengusahakan kesempatan untuk itu, seperti seorang pekerja yang memperlihatkan dirinya (menggunakan atribut) seorang pandita)
5)      Kitavān kuśìlavān kruran paśandasthaṁśca manavan,vikramaśṭhanañca undikaṁś ca kśipram nirvāśayetprat. Manavadharmaśāstra IX.225. (Penjudi-penjudi, penari-penari dan penyanyi-penyanyi (erotis), orang- orang yang kejam, orang-orang bermasalah di kota, mereka yang menjalankan pekerjaan terlarang dan penjual-penjual minuman keras, hendak- nya supaya dijauhkan dari kota (oleh pemerintah) sesegera mungkin).
6)      Eta raśṭre vartamana rajñaḥ pracchannataskaraḥ, vikarma kriyaya nityam bhadante bhadrikaḥ prajāḥ. Manavadharmaśāstra IX.226.(Bilamana mereka yang seperti itu yang merupakan pencuri terselubung, bermukim di wilayah negara, maka cepat-lambat, akan mengganggu penduduk dengan kebiasaannya yang baik dengan cara kebiasaannya yang buruk).
7)      Dyūtam etat pūra kalpe dṛśtaṁ vairakaraṁ mahat, tasmād dyūtaṁ na seveta
hasyartham api buddhimān
. Manavadharmaśāstra IX.227. (Di dalam jaman ini, keburukan judi itu telah nampak, menyebabkan timbulnya permusuhan. Oleh karena itu, orang-orang yang baik harus menjauhi kebiasaan-kebiasaan ini, walaupun untuk kesenangan atau hiburan).



2.12 Catur warna
Dalam buku I sloka 88-91 dikatakan kewajiban seperti mempelajari dan mengajarkan weda, melaksanakan upacara yadnya baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat, memberi maupun menerima dana ditentukan sebagai fungsi brahmana, para brahmana muncul sebagai perwujudan kebajikan abadi sehingga merupakan intisari dari brahma itu sendiri. Kewajiban seperti melindungi rakyat, memberi dana, menyelenggarakan upacara yadnya, mempelajari weda dan menguasai diri dari keterikatan atas benda benda jasmani dinyatakan ksatrialah itu. Kewajiban seperti berternak, berdana malakukan upacara yadnya,mempelajari weda, berniaga waisyalah itu. Hanya satu saja fungsi sudra yang diperuntukan oleh yang dipertuan, melayani dengan setia demikian jga ktiga golongan itu. Telah dinyatakan.
Jika dikaitkan pada jaman sekarang maka golongan warna seseorang didasarkan pada pekerjaan yang dilakukannya. Contohnya seorang guru dapat dikatakan sebagai golongan brahmana. Seorang yang bergelut di bidang pemerintahan dapat dikatakan sebagai golongan ksatriya. Seorang yang bergelut di bidang bisnis dapat dikatakan sebagai golongan waisya. Seorang yang disuruh-suruh seperti buruh atau pembantu dapat dikatakan sebagai golongan sudra.
Sesuai dengan konteks jaman sekarang seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu warna karena memiliki banyak pekerjaan seperti contoh,  seorang guru yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang

2.13 Pelepasan jiwa Menurut Manava Dharmasastra
            Dalam Buku 12 sloka 40, menjelaskan tentang perpindahan jiwa dari tubuh setelah kematian, yang sesuai dengan apa yang diperbuat semasa hidupnya yaitu, mereka yang memiliki sifat-sifat Satwan akan mencapai alam dewata, mereka yang memiliki sifat-sifat rajah akan mencapai alam manusia dan mereka yang memiliki sifat-sifat tamah akan terbenam pada sifat-sifat alam binatang.
            Adapun sifat-sifat satwa yaitu, mempelajari weda, bertapa, belajar segala macam ilmu pengetahuan, berkesucian, mengendalikan indriya, melakukan perbuatan-perbuatan yang bajik, bersemadhi tentang jiwa. Adapun sifat-sifat rajah yang dimaksud yaitu, sangat bergairah akan melakukan tugas-tugas pekerjaan, kurang didalam ketekunan, melakukan perbuatan dosa, dan selalu terikat akan kesenangan jasmani. Adapun sifat-sifat tamah yang dimaksud ialah, lobha, pemalsu, kecil hati, kejam, atheis, berusaha yang tidak baik, berkebiasaan hidup atas belas kasih pemberian orang lain dan tidan berperhatian.






BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Manawa Dharma Sastra merupakan pengelompokan mengenai segala aturan yang menjadi dasar atau pegangan dalam mengadakan hubungan sosial sesuai dasar dalam merumuskan dharma, dimana ajaran dharma  yang masih tetap bersumber pada sruti. Dalam kitab ini terdapat XII sub bab, yang tiap babnya terdapat ajaran yang sangat penting bagi manusia dalam menjalani kehidupannya.

3.2 Saran
            Manava dharma sastra merupakan peraturan-peraturan yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat, naskah ini merupakan naskah kuno yang harus kita kaji terlebih dahulu agar bisa sesuai dengan kehidupan zaman sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar