kajian manava dharma sastra
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manava Dharmasastra
merupakan kodifikasi atau samhita mengenai segala aturan yang menjadi dasar
atau pegangan mengadakan hubungan social sesuai dasar dalam merumuskan kaidah
hokum atau Dharma tetap bersumber pada wahyu ( sruti ). Inti pokok Dharma tak
lepas dari sumber utamanya sehingga dalam konsepsional Dharma sastra adalah
bentuk kaedah yang timbul karena keburtuhan asai manusia yang tak bertentangan
dengan asas-asas umum universal.
Manava
Dharmasastra dikarang oleh Maha Rsi Brghu,
yang terdiri dari 12 adhyaya ( BAB atau Buku ) yang memuat 18 aspek hukum atau
wyawahara yang dapat dikategorikan dalam bentuk hukum perdata agama, pidana
serta peraturan-peraturan yang bersifat mengatur kehidupan sosial
kemasyarakatan secara umum.
Asal-usul
Manusmrti yang dikenal dengan nama Manava
Dharmasastra walaupun sudah dapat dianggap pasti namun masih tetap
merupakan bahan perdebatan diantara berbagai tokoh indoloog. Demikian pula
dengan umurnya tidak dapat dipastikan dengan tepat timbulnya berbagai tulisan
Dharma Sutra menunjukan besarnya perhatian para Maha Rsi dalam usaha mereka
mempertumbuhkan masyarakat yang dibinanya. Banyak nama-nama yang kita jumpai
yang ada hubungannya dengan penulisan kitab dharma sutra itu seperti Gautama, Baudhayana,
sankhalikhita, vinsu, avastamba, Harita, Vikhana, paithinasi, usana, kasyapa,
brhaspati dan manu. Diantara nama-nama itu yang terkenal adalah manu, walaupun
penulisannya sendiri dilakukan oleh Bhrgu. Penampilan nama bhrgu sebagai nama
Rsi yang mengajarkan kepada masyarakat dimaksudkan untuk membuktikan bagaimana
beliau berusaha mempopularitaskan ajaran Manu itu sebagai karya agung dari
Bhatara Manu.
Dalam Kitab
Manava Dharmasastra terdiri dari 2685 sloka, dan kitab Manava Dharmasastra ini
ditulis kembali dalam sebuah buku dan terjemahan dalam bentuk bahasa Indonesia
oleh G.Pudja,M.A. dan Tjokorda Rai Sudharta,M.A yang terdiri dari xxxii + 704
halaman : 16 x 24 cm, tahun 2004.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penciptaan Menurut Manava Dharmasastra
Asal
mula alam semesta ini diselimuti kegelapan, kemudian dengan kekuatan tapanya (
kriya sakti beliau ) bagian dari Cadu Sakti, menciptakan alam semesta ini
secara bertahap dari unsur alam semesta ( Maha Bhuta ) yang melenyapkan
kegelapan.
Manava
Dharmasastra 1.8-11 : ia ( Tuhan ) yang ingin menciptakan dirinya sendiri semua
makhluk-makhluk hidup yang beraneka ragam, mula-mula dengan pikirannya
terciptalah benih dan benih itupun menjadi telor alam yang maha suci dan maha
terang, dalam telor itulah ia menciptakan dirinya sebagai Brahman, pencipta dan
cikal bakal dari alam semesta. Dari cikal bakal yang pertama ini, yang tak
berbedakan, kekal yang nyata dan tak nyata, muncullah purusa.
Manava
dharmasastra 1.12, istilah telor alam sekedar merupakan bahasa yang melukiskan
sifat-sifat yang mengandung ide kesucian. Saat penciptaan semesta, Brahman
menciptakan dua kekuatan yang disebut purusa yaitu kekuatan hidup dan prakerti
atau kekuatan kebendaan. Kemudian timbul Citta yaitu alam pikiran yang dipengaruhi
oleh Tri Guna yaitu satwam ( sifat kebenaran/ Dharma ), Rajah ( sifat
kenafsuan/ dinamis ) dan tamah ( adharma/ kebodohan atau apatis ). Kemudian
timbul budhi ( naluri pengenal ) setelah itu timbul manah ( akal dan perasaan
), selanjutnya timbul ahangkara ( rasa keakuan ).
Setelah ini
timbul Dasa Indriya yang terbagi dalam kelompok lima indra perasa atau panca
budhi indriya dan lima indra penggerak panca karma indriya. Setelah itu
timbullah lima jenis benih benda alam ( Panca Tan Matra ) : suara, rasa
sentuhan, pengelihatan, rasa, penciuman. Dari panca Tan Mantra Muncullha lima
unsur materi yaitu Panca Maha Bhuta.
Panca Maha
Bhuta merupakan lima unsur pembentuk dalam penciptaan baik bhuana agung atau
alam semesta maupun bhuana alit atau mahkluk hidup. Adapun bagian dari panca
maha bhuta inu ialah, pertiwi ( zat
padat ) dalam bhuana agung atau alam semesta contohnya : tanah, batu dan lain
lain-lain yang padat sedangkan dalam bhuana alit contohnya : tulang, gigi,
kuku, daging, dan lain-lain, yang kedua ialah apah ( zat cair ) dalam Bhuana agung contohnya : air sedangkan
dalam bhuana alit contohnya : darah, air kencing, keringat, air mata dan
lain-lain, yang ketiga ialah bayu (
udara ) dalam bhuana agung contohnya : angin, sedangkan dalam bhuana alit
contohnya : nafas, yang keempat ialah teja
( unsur panas ) dalam bhuana agung contohnya : panasnya api, matahari dan
lain-lain, sedangkan dalam bhuana alit contohnya : suhu badan, dan yang
terakhir ialah akasa ( ether ) dalam
bhuana agung contohnya : ruang angkasa, sedangkan dalam bhuana alit contohnya ;
rongga perut, rongga mulut, rongga telinga, rongga hidung dan rongga-rongga
lainya.
Unsur-unsur tersebut dicampur dengan cita,
budhi, ahamkara, dasa indriya, panca tan matra dan panca maha bhuta. Dari
pencampuran tersebut, timbullah benih makhluk hidup yaitu swanita dan sukla.
Pertemuan kedua benih tersebut menyebabkan terjadinya makhluk hidup.
2.2 Yadnya menurut Manava Dharma Sastra
Yadnya merupakan
korban suci tulus ikhlas, dalam Manava Dharma sastra juga terdapat ajaran
mengenai Panca yadnya, yaitu terdapat pada Buku III, sloka 73 “ mereka menamakan kelima korban suci ini
juga dengan sebutan Ahuta, Huta, Prahuta, Brahma huta, prasita” juga dalam
sloka 74 ditegaskan kembali “ Ahuta
adalah pengucapan doa dari veda Huta persembahan yangan homa, prahuta adalah
upacara yang diharurkan diatas tanah kepada para Bhuta, Brahmahuta menerima
tetap brahmana secara hormat seolah olah mengaturkan kepada api yang ada pada
tubuh brahmana dan prasita adalah persembahan terfana kepada para pitara”
Dari
sloka tersebut diatas menjelaskan tentang kelima yadnya yang perlu kita lakukan
yaitu, Ahuta berarti yadnya kepada
para dewa atau Dewa yadnya, yang dimaksud dengan dewa yadnya ini ialah,
persembahan suci yang tulus iklhas untuk para dewata atau tuhan, adapun contoh
dewa yadnya ini ialah pemujaan yang dilakukan di pura.
Huta berarti yadnya kepada manusia atau
Manusa yadnya, adalah bentuk persembahan suci terhadap sesame manusia,
contohnya upacara tiga bulanan, perkawinan, upacara potong gigi dan lain
sebagainya, bisa pula ditunjukan dengan jalan menolong sesame manusia.
Brahmahuta yaitu yadnya kepada para Rsi
atau Guru atau yang disebut juga Rsi yadnya, merupakan bentuk persembahan suci
terhadap para maha rsi atau guru contohnya upacara mediksa, upacar pawintenan
atau bisa juga ditunjukan dengan jalan kita membantu para guru atau maha rsi.
prasita yaitu yadnya yang kita lakukan
kepada leluhur atau Pitra Yadnya, adalah bentuk persembahan suci terhadap para
leluhur atau pitara, contoh pelaksanaan pitra yadnya ini ialah upacara ngaben.
Dan yang
terakhir adalah Prahuta yakni yadnya
yang dilakukan kepada para Bhuta Kala yaitu Bhuta yadnya, adalah bentuk
persembahan suci terhadap mahkluk bawahan, contohnya upacara mecaru dan bisa di
lakukan dengan jalan kita memelihara hubungan baik dengan hewan maupun
tumbuhan.
2.3 Peraturan Bagi Sanataka
Adapun dalam bagian
ini berisi penjelasan tentang apa saja peraturan-peraturan bagi seorang
Sanataka, mulai dari bagaimana seorang Sanataka itu mencari sumber kehidupan,
tugas-tugas dan larangan-larangan nya.
Dalam buku IV
sloka 2 sampai sloka 12, menjelaskan tentang usaha seorang brahmana dalam
mencari nafkah atau mencari sumber kehidupan, yaitu seorang harus mencari
nafkahnya dengan berusaha tidak sama sekali atau sedikit mungkin menyusahkan
orang lain. Hendaknya ia mengumpulkan keperluannya dengan menjalankan usaha
yang tidak tercela sesuai dengan swadharmanya. Dalam sloka 4 ditekankan lagi bahwa seorang sanataka atau brahmana
hendaknya hidup dengan rta, amrta,
dan pramrta atau dengan cara satya nrta dan tidak dibolehkan dengan cwawrti. Adapun yang dimaksud dengan rta yaitu kebenaran menurut hukum alam
artinya, seorang sanataka atau brahmana harus mencari sumber kehidupan dengan
jalan dharma atau tidak menentang dengan hukum alam. Yang kedua amrta yaitu segala yang diberikan tanpa
diminta, ini dimaksudkan seorang sanataka atau brahmana menerima apa saja yang
diberikan kepada dirinya walaupun dia tidak memintanya. Ketiga pramrta yaitu hasil pertanian, maksudnya
seorang sanataka atau brahmana boleh melakukan kegiatan pertanian demi
menunjang kehidupannya. Dan yang terahir satya
nrta yaitu kehidupan yang didasarkan menurut cara gabungan antara kebenaran
(satya) dan kebohongan (nrtya) yang dalam sloka ini menjelaskan
bahwa sanataka atau brahmana diperbolehkan dalam melakukan perdagangan yang
berdasarkan dharma. Adapun cara memperoleh sumber kehidupan yang tidak
diperbolehkan yaitu cwawrti atau cara
hidup seperti anjing, dalam hal ini seorang brahmana tidak diperbolehkan
melakukan perbudakan maupun menjilat.
Larangan-larangan
seorang sanataka atau brahmana termuat dalam sloka 15 sampai 17 yaitu seorang
brahmana tidak boleh mencari kekayaan dengan jalan haram atau tidak sesuai
dengan dharma, terdapat pula larangan bagi seorang brahmana untuk memenuhi
kesenangan-kesenangan diri pada hal pemuasan nafsu.
Tugas-tugas
seorang sanataka atau brahmana termuat dalam 19,21,22 sampai 28. Yang berisi
tentang tugas seorang brahmana diantaranya yaitu dia harus senantiasa
mempelajari weda sampai dengan melakukan upacara yadnya.
2.4 Masa Cuntaka
Cuntaka merupakan
suatu keadaan dimana seseorang sedang mengalami masa kekotoran dalam jasmani
maupun rohani. Dalam manava dharma sastra masa cuntaka ini termuat di buku V
berikut sloka-sloka yang memuat cuntaka tersebut, yakni sloka 58 – 101. Seperti
dalam sloka 58 menjelaskan jika seorang bayi telah tumbuh gigi dan meninggal
maka seluruh keluarganya terkena cuntaka, sedangkan dalam sloka 62 menyebutkan
keadaan cuntaka pada saat kelahiran bayi dan yang menjadi cuntaka itu hanyalah
ibunya sendiri sedangkan sang ayah akan menjadi suci hanya dengan mandi saja.
Dalam sloka 63 menyebutkan bahwa setelah melakukan hubungan sex seorang
laki-laki juga akan menjadi bersih hanya dengan mandi. Dalam sloka 66
menyebutkan wanita yang mengalami keguguran maka ia akan mengalami cuntaka
selama umur bayi yang terdapat pada kandungannya. Dalam sloka 71 menyebutkan
ketika seorang kawan meninggal hanya mengalami cuntaka dalam satu hari. Dalam
sloka 98 menyebutkan bahwa ia yang meninggal di medan perang harus seketika di
upacarai dengan upacara serauta, demikian juga cuntaka yang disebabkan oleh kematiannya akan berakhir pada saat
upacara tersebut terselesaikan. Dalam sloka 101 menyebutkan seorang brahmana
yang mengusung mayat yang bukan
merupakan bagian keluarganya dan seolah-olah ia bertindak sebagai anggota
keluarganya ia akan mengalami cuntaka selama tiga hari, dan masih banyak lagi
sloka-sloka yang mengatur tentang masa cuntaka ini.
Cuntaka
ini pada dasarnya tidak ada yang tidak membolehkan seorang yang cuntaka ini
berhubungan dengan tuhan, namun hal yang dilarang sesungguhnya ialah orang
cuntaka ini memasuki tempat suci karena bertujuan untuk menjaga kesakralan atau
kesucian tempat suci, hal ini berhubungan dengan krama yang menjujung tempat
suci tersebut.
2.5 Catur Asrama
Catur asrama
merupakan empat tingkatan hidup yang harus dilewati manusia dalam hidupnya,
dari mulai ia belajar dalam hidup sampai mempersiapkan diri untuk meninggalkan
hidup. Adapun tingkatan hidup itu ialah
:
2.5.1 Brahmacari
Adalah
tingkat kehidupan berguru/menuntut ilmu. Diawali dengan upacara upanayana dan diakhiri dengan pengakuan
dengan pemberian samawartana / ijazah. Dalam kegiatan belajar mengajar ini
siswa harus mengikuti segala peraturan yang telah di tetapkan bahkan kebiasaan
untuk mengasramakan siswa sangat penting guna memperoleh ketenangan belajar
serta mempermudah pengawasan. Brahmacari juga mengandung makna yaitu orang yang
tidak terikat nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala tenaga dan
pikirannya benar-benar diarahkan kepada kemantapan belajar serta upaya
pengembangan keterampilan sebagai bekal hidupnya kelak. Seperti yang disebutkan
dalam buku II sloka 36 yaitu seseorang harus melakukan upacara upanayana. Dan
juga termuat dalam sloka 41 mengenai etika seorang murid dalam berpakaian pada
saat proses pembelajaran. Dalam sloka 117 juga disebutkan seorang siswa harus
memberi hormat dengan sujud kepada guru dari mana dia menerima pengetahuan.
2.5.2 Grahasta
Adalah
tingkat kehidupan berumah tangga. Dalam memasuki masa grahasta di awali dengan
suatu upacara yang disebut wiwaha (perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan
secara agama dalam rangka kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu penggunaan
harta dan kama sangat penting dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis
dan manusiawi berdasarkan dharma. Seperti yang dijelaskan dalam buku III sloka
2 yaitu seorang murid yang sudah mempelajari weda ia akan memasuki tahapan
sebagai kepala rumah tangga. Terdapat pula aturan-aturan dalam seseorang untuk
memilih istrinya. Termuat dalam buku III sloka 6 dan 7 yang menyebutkan dalam
memilih istri hendaknya ia menghindari baik-baik kesepuluh macam jenis keluarga
dibawah ini, betapapun terkenal atau kayanya dengan ternak, kuda atau kekayaan
lainnya. Sepuluh macam keluarga itu ialah, keluarga yang tidak menghiraukan
upacara-upacara suci, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki, keluarga yang
tidak mempelajari weda, keluarga yang anggota badannya berbulu tebal, keluarga
yang mempunyai penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag, penyakit ayan dan
lepra. Dalam sloka tersebut bertujuan supaya kelak keturunan yang dihasilkannya
menjadi anak suputra.
2.5.3 Wanaprastha
Adalah
tingkat kehidupan ke tiga dengan menjauhkan diri dari nafsu-nafsu keduniawian.
Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengalaman ajaran dharma. Dalam masa
ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan
mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/
moksha dipraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun
sloka-sloka yang mengatur tentang wanaprastha dalam manava dharma sastra ini
termuat dalam buku VI sloka 1,2,3 dan masih banyak lagi. Dalam sloka-sloka
tersebut menyebutkan orang yang sudah sesuai dengan peraturan hukum golongan
yang sudah berkeluarga boleh dengan membulatkan tekad dan mengendalikan panca
indriyanya secara ketat, tinggal dalam hutan dengan cermat mengikuti
peraturan-peraturan dibawah ini diantaranya, kalau seorang kepala keluarga
sudah melihat kulitnya keriput dan rambutnya sudah putih dan sudah pula melihat
adanya cucu pada saat itulah ia boleh hidup dalam hutan. yang kedua dengan
meninggalkan semua hak miliknya, meninggalkan semua makanan yang didapat dari
hasil tanahnya ia boleh berangkat kehutan dengan menyerahkan istrinya kepada
putra-putranya atau istrinya dibawa serta kehutan. Dengan membawa api suci dan
peralatan untuk melakukan pemujaan sehari-hari ia boleh meninggalkan desa dan
menuju hutan untuk tinggal disana. Dalam hal ini dimaksudkan ketika orang sudah
matang dalam jasmani dan rohaninya dan sudah memenuhi semua kewajiban dan
tanggung jawab terhadap keluarganya maka ia disaran kan untuk mengasingkan diri
atau pada jaman dulu dilakukan dengan jalan pergi kehutan guna mempersiapkan
diri untuk meninggalkan duniawi guna mencapai tahapan Bhiksuka pada tingkatan
asrama berikutnya.
2.5.4 Bhiksuka
Adalah
tingkat kehidupan dimana pengauh duniawi sama sekali lepas yang diabdikan
adalah nilai-nilai dari keutamaan dharma dan hakikat hidup yang benar. Pada
masa ini banyak dilakukan kunjungan ketempat suci, dimana seluruh sisa hidupnya
hanya diserahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk mencapai moksha. Adapun
peraturan- peraturan yang memuat tentang bhiksuka dalam manava dharmasastra ini
termuat dalam buku XII sloka 11 menyebutkan orang yang mampu mengendalikan
tingkah laku, pikiran dan perkataan atas dirinya sendiri terhadap semua makhluk
dan sepenuhnya telah menundukan keinginan dan kemarahan, karenanya ia pasti
akan mencapai keberhasilan yang sempura. Disebutkan pula dalam sloka 83,
mempelajari weda melakukan tapa, mencari pengetahuan yang benar, menundukan
panca indra, tidak melukai makhluk, dam melayani guru adalah cara yang terbaik
untuk mencapai rahmat yang tertinggi.
2.6 Tri Guna
merupakan tiga
sifat yang dimiliki oleh manusia yakni satwam, rajas, tamas. Satwam adalah
prilaku yang tenang, bijaksana, jujur,baik,panadai dan bersih. Rajah adalah
sikap berlebihan aktif, dinamis gelisah dan resah. Tamas sikap yang yang pasif,
malas,acuh tak acuh dan tak bergairah. Pada dasarnya ketiga sifat ini ada pada
manusia hanya saja bobotnya yang berbeda tergantung pada pribadi manusianya.
Tri guna termuat dalam manawadarmasastra Buku XII sloka 31-33 disebutkan
cirri-ciri sifat satwam adalah mempelajari weda betapa belajar segala buku
pengetahuan mengendalikan atas semua indrianya melakukan perbuatan-perbuatan
yang bajik. Pada sloka 32 disebutkan sifat-sifat rajah adalah sangat bergairah melakukan perkejaan, kurang
dalam ketekunan,melakukan perbuatan-perbuatan berdosa dan selalu terikan dalam
kesenangan-kesenangan jasmani. Pada sloka 33 disebutkan sifat-sifat tamah yakni
loba, kecil hati, pemalsu, kejam, ateis,pemalas, berusaha yang tidak baik,
kebiasaan hidup dalam belas kasih atau pemberian orang lain.
2.7 Asta Brata
Adalah
delapan prilaku utama yang harus dimiliki atau di pegang ileh seorang pemimpin.
Asta brata merupakan ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama kepada
Wibhisana ketika akan menjadi Raja di Alengka. Asta brata ini termuat dalam
kitab Manawa Dharmasastra Buku VII sloka 4 diamana dijelaskan bahwa seorang
pemimpin untuk memenuhi maksud dan tujuannya itu sayogyanya memiliki sifat-sifat baik delapan
dewa. Anataranya adalah Dewa Indra, bayu, yama, surya, agni, waruna, candra dan
kuwera. Dalam hal ini dimaksudkan adalah
seorang pemimpin itu harus memiliki sifat dewa indra yang artinya memiliki
sifat yang mampu melindungi oreng-orang kecil, dan seorang pemimpin harus mampu
mensejahterakan masyarakatnya. Dewa wahyu artinya seorang pemimpin harus
memiliki sifat sejuk,suasana yang segar, sehingga terjalin suatu kerjasama yang
baik di dalam kepemimpinannya. Dewa yama artinya seorang pemimpin harus
memiliki sifat yang adil dan seorang
pemimpin harus selalu menjaga kebenaran,misalnya jika anak buahnya melakukan
kesalan harus di hukum dengan adil tanpa melihat status sosialnya. Dewa surya
artinya seorang pemimpin harus memiliki sifat yang tanpa pilih kasih, yang mampu
memberikan perhatian kepada bawahnya tanpa memandang statusnya, selalu
memberikan dorongan agar bawahnnya tetap semangat. Dewa agni artinya seorang
pemimpin harus sanggup menghadapi dan memecahkan setiap kesulitan yang dihadapi
oleh bawahnnya. Dewa waruna artinya seorang pemimpin harus mampu mengayomi
orang-orang yang kecil khususnya orang yang berada dalam posisi yang lemah.
Dewa candra artinya seorang pemimpin harus dapat menciptakan ketenangan. Dewa
kuwera artinya seorang pemimpin harus mensejahterakan masyaraktnya.
2.8 Hukum Sipil dan Pidana
Dalam
Menawa Dharmasastra buku VIII sloka 4-7 terdapat 18 jenis perkara diantaranya, (1)
Perkara tentang hutang piutang, (2) tentang perjanjian, (3) tentang penjualan
barang-barang tak bertuan,(4) ikatan persekutuan, (5) pelaksanaan hibah, (6)
tentang tidak membayar upah,(7) tidak mengindahkan perjanjian, (8) pembagian
hasil dari jual dan beli, (9) perselisihan antara pemilik hewan dengan
pengembalanya,(10) perselisihan mengenai perbatasan, (11) ancaman dengan
kekerasan, (12) penghinaan, (13) pencurian, (14) perampokan, (15) persinahan,
(16) kewajiban suami istri, (17) tentang pembagian warisan, (18) tentang
perjudian dengan dadu dan bertaruh dalam adu binatang. Itulah delapan belas
perkara yang menimbulkan perselisihan hukum di dunia ini.
2.9 Sumber Hukum Hindu Menurut Manava Dharmasastra
Adapun sumber
hukum hindu dalam manava dharmasastra terdapat dalam Sloka 6 dinkatakan bahwa
weda adalah sumber utama dari dharma,
lalu adat istiadat, tingkah laku terpuji para budiman yang mendalami weda, juga tata cara
kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi. Hukum apapun yang
telah ditetapkan oleh manu untuk seseorang maupun golongan, hukum itu sudah
ditentukan semuanya dalam ajaran weda karena weda adalah sumber dharma yang
mutlak, dengan mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka suci dan adat
istiadat yang luhur, orang akan mendapatkan kemasyuran di dunia ini dan mendapat
kebahagiaan utama di dunia lainnya.
2.10 Kewajiban Suami Istri dalam Manawa Dharmasastra
Dalam buku IX .101,102
Berdasarkan sloka tersebut
menjelaskan perkawinan merupakan awal
dari terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia.
Warga rumah (suami dan isteri), wajib menjaga kesucian masing-masing, hidup
rukun dan damai, tenteram, bahagia, mengupayakan terbinanya kepribadian dan
ketenangan lahir dan batin dalam upaya menurunkan anak yang baik.
Adapun
tujuan pokok dari perkawinan adalah: 1) Terwujudnya keluarga yang berbahagia
lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non
material. 2) Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan
papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha). 3) Unsur non material adalah
rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih
sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga
diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut
Kama).
2.10.1 Tugas Dan Kewajiban
Seorang Suami
Dalam Manawa Dharmasastra Bab IX.3, suami
atau bapak adalah sebagai pelindung isterinya yang selengkapnya tersurat
sebagai berikut: “Selagi ia (isteri) masih kecil seorang ayahlah yang
melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia
tua putra-putrinyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak bebas dari
perlindungan”. Secara lebih terperinci tugas suami dalam keluarga menurut
Manawa Dharmasastra IX.2, 3, 9, dan 11 dapat disampaikan sebagai berikut:
1) Wajib melindungi
isteri dan anak-anaknya serta memperlakukan isteri dengan sopan dan
hormat. Wajib memelihara kesucian hubungan dengan saling mempercayai sehingga
terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
2) Suami hendaknya
menyerahkan harta kekayaan dan menugaskan isterinya untuk mengurus harta rumah
tangga, urusan dapur, yadnya, serta ekonomi keluarga.
3) Suami wajib
menggauli isterinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin
kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari unsur-unsur yang mengakibatkan
perceraian.
4) Suami hendaknya selalu
merasa puas dan berbahagia bersama isterinya karena dalam rumah tangga apabila
suami-isteri merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara
kelangsungannya.
5) Suami wajib
menjalankan tugas dan kewajiban sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan
negara dengan baik (dharma grahastha, kula dharma)
6) Suami atau ayah wajib
mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.
7) Suami wajib melakukan
sraddha, pemujaan terhadap leluhur (pitra puja), memelihara cucunya dan
melaksanakan panca yadnya.
Peranan suami tercantum dalam Bab IX 1-103,
seorang suami harus setia kepada istrinya, menghormati istrinya dan melindungi
istrinya dengan penuh kecintaan dan kasih sayang. Kedudukan seorang suami
meriurut masyarakat Hindu adalah sederajat dengan istrinya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa suami berkewajiban melindungi istri dan anaknya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa suami berkewajiban melindungi istri dan anaknya pada saat tiba
waktunya, ia harus mengawinkan anaknya. Suami harus menyerahkan harta dan
segala penghasilannya kepada istrinya dan memberikan kepercayaan sepenuhnya
kepada istrinya untuk mengatur harta rumah tangga, urusan dapur bahkan juga
urusan agama di dalam rumah tangga atau khusus mengenai urusan dilakukan
bersama-sama. Jika ia pergi jauh keluar daerah terlebih dahulu ia harus
menjamin hidup istrinya dengan memberikan biaya sebelum biaya pergi.
Selanjutnya ia harus selalu berusaha memelihara hubungan kesuciannya dengan istrinya
dengan saling percaya mempercayai demi terjamin kerukunan dan keharmonisan
rumah tangga. Demikian dijelaskan pula bahwa ia berkewajiban menggauli istrinya
pada saat-saat tertentu yang ditetapkan oleh agama. Ia harus berusaha
sebaik-baiknya agar antara mereka tidak melanggar kesuciannya dan menghindarkan
perceraian.
2.10.2 Tugas Dan Kewajiban Istri
Tentang kedudukan dan peranan istri untuk
melaksanakan kewajibannya disebutkan dalam Manawa Dharmasastra Adhyaya IX,
1-103 antara lain disebutkan sebagai berikut. Bahwasanya sebagai seorang istri
dan seorang wanita hendaknya selalu ia berusaha untuk tidak bertindak sendiri
dengan meninggalkan ayahnya atau suaminya. Sebagai seorang istri (wanita) ia
harus pandai membawa diri pandai mengatur rumah tangga dan ekonomis, ia harus
setia kepada suaminya dan hendaknya selalu berusaha untuk tidak melanggar
ketentuan menurut kitab suci. Ia harus mengendalikan pikirannya, perkataannya
dan tingkah lakunya demi tercapainya kebahagiaan yaitu tercapai surga sebagai
seorang istri berkewajiban memelihara rumah tangga sebaik baiknya. Andaikata
suaminya harus pergi keluar daerah dan ia tidak mampu memberi biaya sebagai
jaminan istrinya maka istri tersebut dibenarkan untuk bekerja supaya dapat
menunjang hidupnya asal pekeijaan itu tidak bertentangan dengan norma kesopanan
sebagai wanita.
Lebih lanjut seorang istri harus menyadari bahwa telah ditakdirkan setiap
wanita akan menjadi ibu. Orang tua berkewajiban mendidik dan rnenyekolahkan
pada usia tertentu, kewajiban ini mutlak harus dilakukan karena jika tidak
dipenuhi anak tersebut diancarn kapatita yaitu dikeluarkan dan masyarakat arya
dan dilarang mengucapkan mantra savitri. Di damping itu orang tua berkewajiban
bertanggung jawab atas perkawinan anaknya; untuk itu orang tua dapat memilih
calon menantunya. Jika lewat umurnya orang tua kehilangan anak atas urusan
akanya. Lebih lanjiut orang tua berkewajiban mewariskan kepada anak-anaknya,
sebaliknya orang tua berhak mewarisi dan putranya yang tidak berketurunan.
Mengenai hak dan kewajiban anak terhadap orang tua di dalam kitab Manawa
Dharmasastra dijelaskan pula anak laki-laki berkewajiban menyelenggarakan
sradha. Dan anak-anak berhak mewarisi hak orang tuanya. Adapun tugas dan
kewajiban seorang istri dalam pustaka suci Hindu adalah sebagai berikut:
1) Melahirkan dan memelihara anak/putranya
serta memberi kebahagiaan kepada suami dan anak-anaknya.
2) Ramah kepada suami dan seluruh anggota
keluarga suami.
3) Bersama baik dalam suka maupun dalam duka
dengan suami dan anak-anak.
4) Memberi kebahagiaan dan keberuntungan
kepada suami dan mertua.
5) Menjadi pengayom bagi seluruh keluarga
(Mananawa Dharmasastra Bab IX. 26).
2.10.3 tugas dan kewajiban
seorang anak
Adapun
tugas dan kewajiban seorang anak dalam Manava dharmasastra :
1)
Seorang anak harus melindungi orang tuanya
ketika mereka sudah tua dan melindungi ibunya setelah kematian bapaknya.seperti
yang tercantum dalam sloka 364 buku IX.
2)
Seorang anak wajib melindungi dan mengangkat
derajat saudaranya yang lain dan juga berhak membagi warisan sesuai dengan
peraturan yang ada sesuai dengan sloka 106-166 buku IX.
2.11 Judi Dan Taruhan Dalam Manawa Dharmasastra
Judi adalah perbuatan yang dilakukan dalam
berbentuk permainan atau perlombaan yang dilakukan semata-mata untuk
bersenang-senang atau kesibukan dalam mengisi waktu senggang serta ada taruhan
yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar baik dalam bentuk uang ataupun
harta benda lainnya sehingga tentu saja ada pihak yang diuntungkan dan yang
dirugikan. Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano dhyayah)
sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228 dengan jelas menyebutkan
adanya larangan itu. Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan.
Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila
objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. Benda tak berjiwa misalnya uang,
mobil, tanah dan rumah. Mahluk hidup misalnya binatang peliharaan, manusia,
bahkan istri sendiri seperti yang dilakukan oleh Panca Pandawa dalam ephos
Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa. Di
bawah ini sloka-sloka yang menyangkut tentang judi dan taruhan diatur dalam
Manawa Dharmasastra bab IX sloka 221-228 yaitu:
1)
Dyūtaṁ samaḥ
vayaṁ caiva rāja rātrannivarayet, rājanta karaóa vetau dvau dośau pṛthivikśitam. Manavadharmaśāstra IX.221.(Perjuadian dan
pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya, ke dua
hal itu menyebabkan kehancuran negara dan generasi muda).
2)
Prakaśaṁ etat
taskaryam yad devanasama hvayau, tayornityaṁ pratighate nṛpatir yatna van
bhavet. Manavadharmaśāstra
IX.222.(Perjudian dan pertaruhan menyebabkan pencurian, karena itu pemerintah
harus menekan ke dua hal itu)
3)
Apraṇibhiryat
kriyate tal loke dyūtam ucchyate, praṇibhiḥ kriyate yāstu
na vijñeyaḥ sāmahvayaḥ. Manavadharmaśāstra IX.223. (Kalau barang-barang tak berjiwa yang dipakai pertaruhan sebagai uang,hal itu disebut perjudian, sedang bila yang dipakai adalah benda-bendaberjiwa untuk dipakai pertaruhan, hal itu disebut pertaruhan).
na vijñeyaḥ sāmahvayaḥ. Manavadharmaśāstra IX.223. (Kalau barang-barang tak berjiwa yang dipakai pertaruhan sebagai uang,hal itu disebut perjudian, sedang bila yang dipakai adalah benda-bendaberjiwa untuk dipakai pertaruhan, hal itu disebut pertaruhan).
4)
Dyūtaṁ
sāmahvayaṁ caiva yaḥ kūryat karayate va, tansarvan ghatayed rājaśudramś ca
dvija linggi. Manavadharmaśāstra IX.224.
(Hendaknya pemerintah menghukum badanniah semua yang berjudi dan bertaruh atau
mengusahakan kesempatan untuk itu, seperti seorang pekerja yang memperlihatkan
dirinya (menggunakan atribut) seorang pandita)
5)
Kitavān
kuśìlavān kruran paśandasthaṁśca manavan,vikramaśṭhanañca undikaṁś ca kśipram
nirvāśayetprat. Manavadharmaśāstra IX.225.
(Penjudi-penjudi, penari-penari dan penyanyi-penyanyi (erotis), orang- orang
yang kejam, orang-orang bermasalah di kota, mereka yang menjalankan pekerjaan
terlarang dan penjual-penjual minuman keras, hendak- nya supaya dijauhkan dari
kota (oleh pemerintah) sesegera mungkin).
6)
Eta raśṭre
vartamana rajñaḥ pracchannataskaraḥ, vikarma kriyaya nityam bhadante bhadrikaḥ
prajāḥ. Manavadharmaśāstra
IX.226.(Bilamana mereka yang seperti itu yang merupakan pencuri terselubung,
bermukim di wilayah negara, maka cepat-lambat, akan mengganggu penduduk dengan
kebiasaannya yang baik dengan cara kebiasaannya yang buruk).
7)
Dyūtam etat
pūra kalpe dṛśtaṁ vairakaraṁ mahat, tasmād dyūtaṁ na seveta
hasyartham api buddhimān. Manavadharmaśāstra IX.227. (Di dalam jaman ini, keburukan judi itu telah nampak, menyebabkan timbulnya permusuhan. Oleh karena itu, orang-orang yang baik harus menjauhi kebiasaan-kebiasaan ini, walaupun untuk kesenangan atau hiburan).
hasyartham api buddhimān. Manavadharmaśāstra IX.227. (Di dalam jaman ini, keburukan judi itu telah nampak, menyebabkan timbulnya permusuhan. Oleh karena itu, orang-orang yang baik harus menjauhi kebiasaan-kebiasaan ini, walaupun untuk kesenangan atau hiburan).
2.12 Catur warna
Dalam buku I
sloka 88-91 dikatakan kewajiban seperti mempelajari dan mengajarkan weda,
melaksanakan upacara yadnya baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat,
memberi maupun menerima dana ditentukan sebagai fungsi brahmana, para brahmana
muncul sebagai perwujudan kebajikan abadi sehingga merupakan intisari dari
brahma itu sendiri. Kewajiban seperti melindungi rakyat, memberi dana,
menyelenggarakan upacara yadnya, mempelajari weda dan menguasai diri dari
keterikatan atas benda benda jasmani dinyatakan ksatrialah itu. Kewajiban
seperti berternak, berdana malakukan upacara yadnya,mempelajari weda, berniaga
waisyalah itu. Hanya satu saja fungsi sudra yang diperuntukan oleh yang
dipertuan, melayani dengan setia demikian jga ktiga golongan itu. Telah dinyatakan.
Jika dikaitkan
pada jaman sekarang maka golongan warna seseorang didasarkan pada pekerjaan
yang dilakukannya. Contohnya seorang guru dapat dikatakan sebagai golongan brahmana. Seorang yang bergelut di
bidang pemerintahan dapat dikatakan sebagai golongan ksatriya. Seorang yang bergelut di bidang bisnis dapat dikatakan
sebagai golongan waisya. Seorang yang
disuruh-suruh seperti buruh atau pembantu dapat dikatakan sebagai golongan
sudra.
Sesuai dengan
konteks jaman sekarang seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu warna
karena memiliki banyak pekerjaan seperti contoh, seorang guru yang memiliki pekerjaan
sampingan sebagai pedagang
2.13 Pelepasan jiwa Menurut Manava Dharmasastra
Dalam Buku 12
sloka 40, menjelaskan tentang perpindahan jiwa dari tubuh setelah kematian,
yang sesuai dengan apa yang diperbuat semasa hidupnya yaitu, mereka yang
memiliki sifat-sifat Satwan akan mencapai alam dewata, mereka yang memiliki
sifat-sifat rajah akan mencapai alam manusia dan mereka yang memiliki
sifat-sifat tamah akan terbenam pada sifat-sifat alam binatang.
Adapun
sifat-sifat satwa yaitu, mempelajari weda, bertapa, belajar segala macam ilmu
pengetahuan, berkesucian, mengendalikan indriya, melakukan perbuatan-perbuatan
yang bajik, bersemadhi tentang jiwa. Adapun sifat-sifat rajah yang dimaksud
yaitu, sangat bergairah akan melakukan tugas-tugas pekerjaan, kurang didalam
ketekunan, melakukan perbuatan dosa, dan selalu terikat akan kesenangan
jasmani. Adapun sifat-sifat tamah yang dimaksud ialah, lobha, pemalsu, kecil hati,
kejam, atheis, berusaha yang tidak baik, berkebiasaan hidup atas belas kasih
pemberian orang lain dan tidan berperhatian.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Manawa
Dharma Sastra merupakan pengelompokan mengenai segala aturan yang menjadi dasar
atau pegangan dalam mengadakan hubungan sosial sesuai dasar dalam merumuskan
dharma, dimana ajaran dharma yang masih
tetap bersumber pada sruti. Dalam kitab ini terdapat XII sub bab, yang tiap
babnya terdapat ajaran yang sangat penting bagi manusia dalam menjalani
kehidupannya.
3.2 Saran
Manava dharma
sastra merupakan peraturan-peraturan yang mengatur tentang kehidupan
bermasyarakat, naskah ini merupakan naskah kuno yang harus kita kaji terlebih
dahulu agar bisa sesuai dengan kehidupan zaman sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar